Usianya
tak lagi muda, namun semangat hidupnya, tetap membara. Namanya Nenek
Tumirah, usianya sudah 111 tahun. Nek Tumirah tinggal di Sosrowijayan,
Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Sejak usia 97 tahun, Nenek Tumirah
berjualan kacang di stasiun Tugu Yogyakarta. Harga kacang yang Nenek ini
jual hanya 5ribu/bungkus. Sejak pukul 2 siang Nenek ini sudah menjual
kacang, Nek Tumirah pulang saat azan maghrib berkumandang. Di Yogya
Nenek tumirah tinggal sendirian, Nek Tumirah ga mau memberatkan
satu-satunya anak perempuannya.
Quote:
Quote:
Dengan bersandar di pilar parkiran motor di Stasiun Tugu Yogyakarta, Nenek Tumirah tersebut menjajakan kacang sejak pukul 2 siang. Siang itu matahari begitu terik, namun tubuh rentanya tak beranjak dari tempatnya bersandar menunggu pembeli. Orang banyak yang berlalu lalang seperti tak menggubris keberadaannya.
Saat pagi masih sejuk, Nek Tumirah diantar cucunya ke Stasiun Tugu Yogyakarta dengan menggunakaan becak. Dibantunya cucunya tersebut, sebuah bakul berisi kacang rebus siap jual diturunkan. Bakul tersebut yang akan menemani Nek Tumirah hingga sore menjelang.
“Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha,” katanya Nenek Tumirah.
Nenek Tumirah memberi banderol 5 ribu rupiah/bungkus kacang yang dijualnya. Laku atau tidak kacang yang dijualnya hari itu, Nenek Tumirah akan tetap pulang saat menjelang Maghrib dijemput cucunya.
Penghasilan Nenek Tumirah dari berjualan kacang rebus tidak menentu. Jika saat sedang sepi, seringkali Nenek hanya mampu menjual beberapa bungkus saja. Namun yang sedikit itu selalu Nek tumirah syukuri, menurutnya setiap rezeki dari Allah akan selalu mendatangkan keberkahan.
“Sehari dapatnya berapa? Ya cukup untuk makan, kalau kurang dicukup-cukupkan. Ngucap syukur, berapa saja yang laku itu rejeki dari Allah,” ungkap Nenek Tumirah
Quote:
Kacangnya di alas berupa kain dan dipasang payung berwarna hijau yang sudah rusak. Kacang-kacang yang sudah dibungkus, di tata Nek Tumirah rapi diatas nampan usang.
Siapa tahu dengan ditata begitu, banyak calon pembeli yang lebih tertarik. Sementara di bagian yang lain, kacang-kacang yang belum dibungkus dibiarkan menumpuk.
Quote:
"Den kacange den.. neng kacange neng.. Lima ribuan saja mas", ujar nenek berusia 110 tahun ini menawarkan kacang dagangannya kepada siapa saja yang kebetulan lewat.
Namun, tidak banyak yang tertarik. Terkadang dilirik saja tidak. Tapi jika sedang bernasib baik, 10 kilogram kacang yang ia bawa biasanya habis saat menjelang maghrib atau isya.
Lantaran usianya yang sudah senja, Nek Tumirah pun kerap kali kesulitan untuk berjalan. Lantas apa yang membuatnya tetap semangat berjualan? Ternyata karna Nek Tumirah ini ingin mencari uang sendiri. Sukur-sukur saat ada keuntungan lebih, bisa berbagi dengan 9 cucu dan 22 buyutnya.
Quote:
"juga biar gak nganggur di rumah terus", ujar nenek yang pernah merasakan masa penjajahan Belanda di Yogyakarta ini.
Nenek berusia 111 tahun tersebut mengatakan saat penjajahan Jepang beliau jarang makan karena takut keluar, karena banyak tentara Jepang kerap berpatroli di sekitaran rumahnya di Sosrowijayan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta.
"Zaman penjajah Jepang, sama makan sehari bisa untuk dua atau tiga hari. Karena takut keluar, enggak punya makanan di rumah. Takut kalau diculik Jepang", katanya Nenek Tumirah.
Bahkan karena begitu takut dengan Jepang, Nenek dan suaminya membuat lubang persembunyian di bawah rumahnya. Untuk menyembunyikan lubang tersebut, Nek tumirah dan suaminya merobohkan rumahnya sehingga Jepang menyangka penghuni rumah sudah pergi.
“Saat itu anak saya masih kecil, itu pas Jepang datang, suami saya ya meninggal pas zaman Jepang,” ujar nenek yang mengaku memiliki 7 cucu dan 22 cicit ini.
Saat suami sudah tiada dia bekerja sebagai buruh cuci pakaian dan juga buruh tani di ladang. Masa itu disebut sebagai masa yang begitu sulit. Kondisi mulai berubah ketika Indonesia merdeka dan Yogyakarta bergabung dengan Indonesia.
Quote:
“Saya dari dulu tinggal ya di situ (Sosrowijayan) jadi bisa merasakan bagaimana perubahannya dari zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan,” ungkapnya.
Jika membandingkan zaman sekarang dengan zaman dulu, Nek Tumirah mengaku hidup lebih enak pada zaman dulu, sebab jika tidak punya uang untuk makan dia masih bisa makan dengan hasil kebun.
“Sekarang itu duit Rp 100 enggak bisa buat apa-apa, kalau dulu satu sen saja sudah bisa makan kenyang. Sekarang seribu saja makan enggak kenyang,” tandasnya.
Kisah Nek Tumirah, usia 111 tahun, penjual kacang rebus di pintu selatan Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud perjuangan hidup manusia. Rasa syukur dalam menerima berapapun rejeki yang diperoleh oleh nenek 111 tahun penjual kacang tersebut merupakan teladan bagi kita untuk selalu mensyukuri nikmat agar tetap berusaha dan tidak mengeluh dalam menjalani kehipuan.
Sumber : kaskus dot com
Regards : Admin Bambang
Quote:
Quote:
Dengan bersandar di pilar parkiran motor di Stasiun Tugu Yogyakarta, Nenek Tumirah tersebut menjajakan kacang sejak pukul 2 siang. Siang itu matahari begitu terik, namun tubuh rentanya tak beranjak dari tempatnya bersandar menunggu pembeli. Orang banyak yang berlalu lalang seperti tak menggubris keberadaannya.
Saat pagi masih sejuk, Nek Tumirah diantar cucunya ke Stasiun Tugu Yogyakarta dengan menggunakaan becak. Dibantunya cucunya tersebut, sebuah bakul berisi kacang rebus siap jual diturunkan. Bakul tersebut yang akan menemani Nek Tumirah hingga sore menjelang.
“Saya enggak mau merepotkan orang, kalau masih bisa cari makan sendiri ya lebih baik berusaha,” katanya Nenek Tumirah.
Nenek Tumirah memberi banderol 5 ribu rupiah/bungkus kacang yang dijualnya. Laku atau tidak kacang yang dijualnya hari itu, Nenek Tumirah akan tetap pulang saat menjelang Maghrib dijemput cucunya.
Penghasilan Nenek Tumirah dari berjualan kacang rebus tidak menentu. Jika saat sedang sepi, seringkali Nenek hanya mampu menjual beberapa bungkus saja. Namun yang sedikit itu selalu Nek tumirah syukuri, menurutnya setiap rezeki dari Allah akan selalu mendatangkan keberkahan.
“Sehari dapatnya berapa? Ya cukup untuk makan, kalau kurang dicukup-cukupkan. Ngucap syukur, berapa saja yang laku itu rejeki dari Allah,” ungkap Nenek Tumirah
Quote:
Kacangnya di alas berupa kain dan dipasang payung berwarna hijau yang sudah rusak. Kacang-kacang yang sudah dibungkus, di tata Nek Tumirah rapi diatas nampan usang.
Siapa tahu dengan ditata begitu, banyak calon pembeli yang lebih tertarik. Sementara di bagian yang lain, kacang-kacang yang belum dibungkus dibiarkan menumpuk.
Quote:
"Den kacange den.. neng kacange neng.. Lima ribuan saja mas", ujar nenek berusia 110 tahun ini menawarkan kacang dagangannya kepada siapa saja yang kebetulan lewat.
Namun, tidak banyak yang tertarik. Terkadang dilirik saja tidak. Tapi jika sedang bernasib baik, 10 kilogram kacang yang ia bawa biasanya habis saat menjelang maghrib atau isya.
Lantaran usianya yang sudah senja, Nek Tumirah pun kerap kali kesulitan untuk berjalan. Lantas apa yang membuatnya tetap semangat berjualan? Ternyata karna Nek Tumirah ini ingin mencari uang sendiri. Sukur-sukur saat ada keuntungan lebih, bisa berbagi dengan 9 cucu dan 22 buyutnya.
Quote:
"juga biar gak nganggur di rumah terus", ujar nenek yang pernah merasakan masa penjajahan Belanda di Yogyakarta ini.
Nenek berusia 111 tahun tersebut mengatakan saat penjajahan Jepang beliau jarang makan karena takut keluar, karena banyak tentara Jepang kerap berpatroli di sekitaran rumahnya di Sosrowijayan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta.
"Zaman penjajah Jepang, sama makan sehari bisa untuk dua atau tiga hari. Karena takut keluar, enggak punya makanan di rumah. Takut kalau diculik Jepang", katanya Nenek Tumirah.
Bahkan karena begitu takut dengan Jepang, Nenek dan suaminya membuat lubang persembunyian di bawah rumahnya. Untuk menyembunyikan lubang tersebut, Nek tumirah dan suaminya merobohkan rumahnya sehingga Jepang menyangka penghuni rumah sudah pergi.
“Saat itu anak saya masih kecil, itu pas Jepang datang, suami saya ya meninggal pas zaman Jepang,” ujar nenek yang mengaku memiliki 7 cucu dan 22 cicit ini.
Saat suami sudah tiada dia bekerja sebagai buruh cuci pakaian dan juga buruh tani di ladang. Masa itu disebut sebagai masa yang begitu sulit. Kondisi mulai berubah ketika Indonesia merdeka dan Yogyakarta bergabung dengan Indonesia.
Quote:
“Saya dari dulu tinggal ya di situ (Sosrowijayan) jadi bisa merasakan bagaimana perubahannya dari zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan,” ungkapnya.
Jika membandingkan zaman sekarang dengan zaman dulu, Nek Tumirah mengaku hidup lebih enak pada zaman dulu, sebab jika tidak punya uang untuk makan dia masih bisa makan dengan hasil kebun.
“Sekarang itu duit Rp 100 enggak bisa buat apa-apa, kalau dulu satu sen saja sudah bisa makan kenyang. Sekarang seribu saja makan enggak kenyang,” tandasnya.
Kisah Nek Tumirah, usia 111 tahun, penjual kacang rebus di pintu selatan Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan wujud perjuangan hidup manusia. Rasa syukur dalam menerima berapapun rejeki yang diperoleh oleh nenek 111 tahun penjual kacang tersebut merupakan teladan bagi kita untuk selalu mensyukuri nikmat agar tetap berusaha dan tidak mengeluh dalam menjalani kehipuan.
Sumber : kaskus dot com
0 komentar:
Posting Komentar